Thursday, January 26, 2017

Religiusitas Tanpa Batas

Puncak rindu paling dahsyat itu ketika dua orang tak saling telp/sms/bbm dll tapi diam-diam keduanya saling mendoakan
- Sujiwo Tejo


Hati-hati sekali saya mencari kutipan ini, karena saya ingat Sujiwo Tejo pernah bilang kalo mau ngutip dia harus sama persis sampe ke titik komanya. Saking hati-hatinya, saya sampe ngebiarin ada penggunaan elemen dll yang saya ga suka. Oya, FYI, Ryan Gosling dalam filmnya The Nice Guys juga menyatakan ketidak sukannya pada elemen ini. Yup! Buat yang belum tau, filmnya Ryan Gosling bukan cuma La La Land. Seandainya prinsip kehati-hatian ini juga diterapkan sesama netizen dimanapun berada, niscaya, laman facebook anda akan bebas hoax. Niscaya.





Facebook adalah benda menarik, sesuai homepagenya, facebook benar-benar bisa membuat orang-orang stay connected. Bahkan, tanpa harus stalking kaya jaman nenek masih remaja, dengan fitur baru yang gak baru-baru amat, kita sekarang bisa tau, benda-benda yang teman kita suka dan komentari di facebook. Di sinilah kemudian menjadi semakin menarik, dengan fitur ini, saya bisa lihat preferensi seseorang dari kemunculan artikel yang muncul di lini masa saya yang muncul karena ada yang nge-like. Dari yang kecintaannya pada suatu tokoh levelnya hardcore, sampe yang mendadak sangat religius, keduanya meskipun cenderung saling berkontradiksi, nyatanya punya satu kesamaan. Sama-sama suka terjebak di ruang nostalgia. Eh! Hoax maksudnya. Haha. Garing ya. Bodo amat.

Bahas hoax mah bikin cape doang, banyak tapi gak bikin puas kaya makan kuaci. Yang ada bibir jontor. Makanya, kali ini saya mau fokus aja sama perkara teman yang mendadak sangat religius. Atau terkesan sangat religius. Jujur aja, saya masih belum paham bedanya. Oya, kali ini saya mau membahasnya dari sudut pandang Islam saja. Agama saya, yang saya punya sedikit pemahaman atasnya.

Jika harus dibahasakan, pertanyaan yang lagi sering saya tanyakan sebagai seorang muslim adalah, Apakah puncak religiusitas itu terjadi ketika kita meyakini betul bahwa Islam adalah satu-satunya jalan yang benar dan menjalani semua ajaran baik yang wajib maupun yang Sunnah tanpa pertanyaan sedikitpun, atau ketika kita meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan, termasuk semua perbedaan, dan religiusitas itu adalah perkara hubungan seorang hamba dengan Tuhannya terlepas dari cara menghamba/berTuhan itu sendiri.

Jika harus bergerak bersama opsi yang pertama, maka saya harus menerima fakta bahwa akan banyak orang-orang baik dan berjasa yang akan lanjut dibakar di neraka selamanya (Saya mau bilang berakhir di neraka, tapi itu kontradiktif dengan kata selamanya). Yaa tentunya sebelumnya saya harus menerima dulu pernyataan bahwa surga dan neraka itu ada. Ini sungguh menggelisahkan, terutama karena saya meyakini betul bahwa Tuhan itu ada dan Dia seperti yang senantiasa saya ucapkan dalam basmallah adalah Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Di sisi lain, rasanya juga tidak adil kalo memikirkan bahwa semua orang terlepas dari perbuatannya, akan lanjut berada di Surga, bayangkan orang tua yang membunuh anaknya, atau anak yang membunuh orang tuanya, atau para pedophile yang lanjut membunuh korbannya, atau yang paling dekat, para koruptor yang keserakahannya secara tidak langsung merugikan orang banyak. Mari sejenak lupakan mereka-mereka yang disangkakan penistaan agama, bukankah kategori manusia-manusia yang sebelumnya saya sebutkan lebih membahayakan dan menggelisahkan anda sebagai seorang manusia?

Di sinilah opsi kedua datang dan memberikan semacam efek penenang. Ibarat makan maicih, opsi kedua bagaikan es kelapa muda yang dicampur perasan jeruk nipis, gula, dan sedikit susu kental manis. Sejuk dan tenang. Mempercayai bahwa Tuhan adalah yang Maha Berkehendak dan semua yang terjadi adalah atas kehendak-Nya memiliki efek yang sama. Kalo kalian lihat apa yang terjadi Syria, ingatlah bahwa Tuhan mengkehendakinya untuk terjadi. Kalo kalian lihat apa yang terjadi pada kaum Rohingya, atau berbagai hal menggelisahkan yang terjadi di Indonesia yang bikin kalian entah mengelus dada, menggeleng-gelengkan kepala, atau sekedar menjadi gundah gulana, ingatlah, bahwa Tuhan mengkehendakinya untuk terjadi.




Tuhan punya caranya sendiri, yang kebanyakan dari kita gak akan bisa ngerti. Jalan terbaik bagi kita adalah menerimanya tanpa perasaan benci. Yaa, walaupun kalo mau dipikir, benci juga datangnya dari Tuhan yang mengkehendaki. Haha, lucu ga sih, kaya apapun yang kita lakukan tuh sebenernya adalah kehendak Tuhan, kita gak punya control meskipun seakan-akan kita punya control. Ibarat main game RPG, karakter bertarung, makan, jalan, ngobrol, semua karena kita yang gerakin. Kalo nginget-nginget malem-malem saya pengen martabak keju netto meskipun udah makan, yaa itu karena Tuhan mengekehendaki saya untuk pengen makan martabak keju netto. Habis itu Tuhan berkehendak saya merasa bersalah dengan perut yang semakin buncit lalu membuat saya pengen ngeGym. Hahahahaha! Bercanda alam semesta memang tiada duanya.

Okay, balik ke perkara teman yang mendadak sangat religius. Salah satu indikasinya adalah mereka cenderung nge-like dan nge-share berbagai postingan beraroma Islami, yang anehnya, gak jarang bikin mengernyitkan dahi. Mungkin karena level religiusitas saya masih newbie makanya saya gak bisa ngerti, mungkin juga karena mereka yang kurang berpikir dan tipe aliran like and share first, think later or never. Wah yoi juga nih bisa jadi catch phrase.



Saya ambil contoh satu, pernah ada postingan yang menyamakan he-who-must-not-be-named dengan Umar Bin Khatab. Saking herannya sama postingan ini, dahi saya mengernyit sampe alis kiri dan kanan kaya hampir nempel. I mean why? Salah satu cerita Umar yang paling saya ingat adalah ketika ia membawa karung berisi makanan dan pakaian untuk diantarkan ke seorang Ibu miskin yang anak-anaknya sedang menangis kelaparan, dan meskipun dia adalah pemimpin yang dikagumi banyak orang, dia memilih untuk memanggulnya sendiri ke Ibu itu. Talking about responsibilities, modesty, and sacrifices. This is it. In the meantime, he-who-must-not-be-named, ahh sudahlah~ kalian bisa baca-baca sendiri. Anggap saja kita sama-sama tahu apa yang kita sama-sama tahu.

Ada juga yang baru-baru ini beredar, postingan terkait MUI yang seperti sedang diperadukan dengan apa yang mereka sebut sebagi Rezim. Well, it’s not as agitating as the previous one, hanya saja, dalam semangat mencari kebenaran hal ini membuat saya bertanya, memang kalo sudah bertahun-tahun berdiri dan dihormati lantas jadi tidak mungkin salah? Kalo sudah bertahun-tahun dihormati, lalu mendadak disoroti belakangan ini, apa lantas yang menyoroti jadi yang salah? Apa tidak mungkin, justru karena baru belakangan ini disoroti, ada hal-hal yang baru dilakukan belakangan ini yang memang menggelisahkan?

Jujur saja, saya seperti kebanyakan dari kalian tidak tahu jawabannya apa, tapi dalam perkara mencari kebenaran, memeberikan pertanyaan yang tepat juga tak kalah pentingnya dengan mendapatkan jawaban yang benar. Bagi saya, ketika ada sorotan seperti ini, yang terbaik dilakukan adalah melakukan refleksi. Bukan malah ujug-ujug menyalahkan yang menyoroti. Toh pada akhirnya kita semua adalah Manusia yang tidak luput dari kesalahan. Ibarat mesin, ketika ada yang janggal dalam proses operasi, bukankah yang terbaik adalah melakukan full diagnostic run




Okay, mari lanjut ke perkara terakhir untuk kali ini. Tentang bagaimana usaha untuk menjalani apa yang diyakini sebagai Syariat, justru malah tampil seakan-akan Islam itu seperti tidak bisa menerima perbedaan. Atau yang dalam Bahasa yang lebih populer disebut sebagai Intoleran. Dalam perspektif saya, bahkan ada beberap tindakan yang bisa terkategori sebagai arogan. Now, semua orang harap tenang dulu. Izinkan saya membahas sedikit perspektif saya ini.

Belum lama ini, saya membaca tulisan tentang pelarangan festival kuliner Babi di kota Semarang. Bagi mereka yang melakukan aksi ini, mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah usaha menegakkan syariat. Which is fair, karena memang Islam mengharamkan Babi. Tidak lantas juga bisa dibenarkan karena yang menjadi target festival ini adalah non-muslim yang tidak mempercayai bahwa makan Babi itu haram. Di sinilah Muslim yang memang adalah agama mayoritas di Indonesia melakukan tindakan yang bisa dibilang terkategori Arogan. Prinsip yang sama berlaku juga untuk aksi-aksi yang sudah hadir sebelumnya seperti pelarangan atribut natal, pembubaran aktivitas agama, penghancuran patung, dan bagi saya yang terparah adalah penurunan patung Budha.

Patut diingat bahwa perbedaan akan selalu ada dan keberadaannya adalah sesuai dengan kehendak Tuhan, saya tahu bahwa semua aksi yang saya sebutkan tadi dilakukan atas keyakinan pada kebenaran, tapi menjadi tidak benar karena kemudian memaksakan kebenaran tersebut pada pihak lain yang meyakini kebenaran yang lain. Ketika suatu kelompok sudah merasa paling benar, paling baik, dan unggul dibandingkan kaum yang lain, apalagi didukung oleh jumlah yang mayoritas, maka berhati-hatilah terhadap arogansi. Level arogansi seperti ini, bukankah juga sama dengan arogansi yang dipercayai oleh supremacist kulit putih?

Bagi saya, sebagai kaum mayoritas, alih-alih mendiskriminasi yang minoritas, jauh lebih baik jika kita bisa menaungi yang minoritas. Akan lebih baik lagi malah jika melupakan segala perbedaan dan berpegang pada berbagai persamaan seperti sesama orang Indonesia, sesama manusia, sama-sama bekas jajahan belanda, dan yang terpenting, sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.

Bagi saya, alih-alih memberangus segala yang berpotensi melemahkan akidah, lebih baik berusaha untuk memperkuat akidah, perbaiki diri sendiri sebaik mungkin, kalo Cuma ngeliat atribut natal atau patung di bunderan udah bisa melemahkan akidah, maka pertanyakanalh kekuatan akidahmu, dan perkuatlah sampe di titik dimana kamu ngeliat atribut natal gak ada pengaruhnya sama seperti kaya kamu ngeliat Avanza. Perkuatlah akidahmu sampe ketika kamu ngelihat perbedaan yang kamu lihat adalah kebesaran Tuhan, kebesaran yang sama yang ciptain pelangi yang terdiri atas 7 warna yang sebenernya semua adalah putih, kebesaran yang sama yang bikin laut diisi sama ikan yang macem-macem bentuk dan warnanya.

Ibarat HP, dulu pas masih monochrome cuma bisa main snake, sekarang warnanya udah sampe jutaan dan kalian bisa pake main plants vs zombies! Isn’t it better? Ibarat ikan, jadilah seperti Hiu yang menaungi ikan-ikan yang lebih kecil dan memberikan perasaan aman pada mereka. Instead of being the bully, be the big brother who protects.




Hypocrite adalah gelisah dengan kasarnya Ahok, tapi mentolerir kasarnya he-who-must-not-be-named , berlaku sebaliknya. Hypocrite adalah gelisah dengan arogansi dan kerasnya those-who-must-not-be-named lewat sweeping-sweepingnya tapi mentolerir arogansi dan kerasnya Ahok lewat penggusurannya, berlaku sebaliknya. Hypocrite adalah, gak terima dengan arogansi pada kaum Muslimin di seluruh dunia yang menjadi Minoritas di negaranya, tapi berlaku arogan pada kaum Minoritas di Indonesia sebagai Muslim yang menjadi Mayoritas. Hypocrite adalah tidak terima semua Muslim dicap teroris dan dimusuhin tapi mencap semua non-Muslim sebagai Kafir dan ngemusuhin.

At last, tulisan ini tidak dibuat untuk menghakimi kelompok manapun, apalagi untuk menghakimi Islam sebagai suatu agama. My love to Islam as my religion is real and may be as much as you who come to aksi 212, only our way of showing it is different. My way is to keep writing things like this, I’m hoping to share the same spirit of love to those who reads this open mindedly. I have a concern, lots and lots of questions, by writing this I’m also hoping to get the answer or simply discussion to enrich, if not straighten things that I believe for now.

My name is Hendro Prasetyo, principal of Artdicted Studio. Here’s the thing guys, as the Majority, instead of showing how powerful we can be, let’s show how affectionate we can be. Daripada pamer kekuatan, lebih baik berbagi kasih sayang. Percayalah, ga ada ruginya, kecuali bertepuk sebelah tangan, kasih sayang niscaya akan berbuah kasih sayang balik. And when it’s not, just believe that it all happens because God wants it so. And believe it, as an act of Love.